Minggu, 15 Mei 2011

Rasionalitas Pembatasan BBM

‘Dilematis’ menjadi kata yang tepat merepresentasi sikap pemerintah terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Bagi setiap rezim pemerintah pasca reformasi, penyikapan BBM kerap mengundang reaksi tidak simpatik.

Di satu sisi, pilihan pengurangan subsidi (penaikan harga) berkonsekwensi pada naiknya basic needed cost. Di sisi lain, beban APBN terhadap subsidi BBM akan kian berat jika tidak dilakukan pengurangan subsidi seiring naiknya harga minyak dunia. Sayangnya, posisi dilematis pemerintah ini minus pemahaman publik, bahkan kerap diolah menjadi bola liar jualan politik pihak-pihak tertentu.

Kini masalah kembali hadir dan pemerintah dipaksa menghadapi dilema baru. Laju kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional hingga April 2011 telah melambung tinggi mencapai kisaran US$120 per barel. Selain diakibatkan oleh kulminasi konfliktual kawasan Timur Tengah dari Tunisia, Mesir hingga Libya, kenaikan harga binyak juga dipantik oleh ketidakstabilan perubahan iklim (climate change) di Eropa – Amerika, berkurangnya produksi minyak negara-negara OPEC, dan pengaruh inflasi dolar AS.

Kondisi itu jelas tidak menguntungkan bagi Indonesia, sebagai pengekspor sekaligus pengimpor minyak. Utamanya dampak pada peningkatan beban neraca impor kebutuhan BBM. Artinya, naiknya harga minyak di pasar internasional yang melebihi ambang batas subsidi akan meningkatkan beban APBN ditengah keterbatasan anggaran negara.

Political Will

Betapa dilema diatas kerap menjadi motif utama mengapa kebiajakan terhadap BBM terkesan sangat hati-hati. Satu sisi pemerintah tidak ingin membebani masyarakat dengan kenaikan harga, namun pada saat bersamaan anggaran APBN atas subsidi BBM telah ditetapkan sedemikian rupa agar tidak melebihi kuota. Itulah yang melatari ketertundaan rencana kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Rupanya pemerintah ingin lebih mematangkan rencana tersebut agar tidak memberatkan dua domain: anggaran negara dan kebutuhan pokok rakyat.

Sebelumnya, penyiasatan demi penyiasatan dilakukan agar dilema BBM tak lagi membebani rakyat. Salah satu kebijakan yang patut diapresiasi positif adalah keberhasilan pemerintah menggiring masyarakat mengonversi minyak tanah ke gas. Ini adalah strategi penghematan BBM dan penekanan subsidi yang dinilai excellent, meski membutuhkan pembenahan pelayanan di berbagai lini.

Terakhir, untuk menghindari efek domino kenaikan harga bahan pokok, skema kebijakan pemerintah sengaja menghindari penaikan harga, dan lebih memilih pengendalian konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat melalui strategi pemberian kuota (penjatahan). Kebijakan penjatahan BBM bersubsidi dimaksudkan untuk mengontrol volume pengeluaran diatas kuota 38,5 juta kiloliter, sebagaimana amanat UU APBN 2011. Rencana pembatasan itu musti dibaca sebagai political will pemerintah dalam mengendalikan pemakaian BBM bersubsidi.

Pemerintah musti berani mengambil langkah tegas dan hati-hati ditengah konstalasi rumit fluktuasi minyak dunia saat ini. Kebijakan apapun mempunyai implikasi dan konsekwensi. Sebab jika penggunaan BBM bersubsidi tidak dibatasi, maka beban subsidi dalam APBN kian membengkak.

Sebaliknya, penaikan harga (pengurangan subsidi) sepertinya dihindari pemerintah mengingat efek psikologis dan ekonomis yang akan ditanggung rakyat. Terlebih, hal itu hanya akan menimbulkan reaksi kelompok anti pemerintah yang akan memanfaatkanya untuk mengambil simpati rakyat meskipun dilakukan dengan cara ‘memancing di air keruh’. Disamping itu terdapat potensi penyelundupan BBM ke luar negeri akibat disparitas harga dalam negeri yang lebih rendah dibanding pasaran internasional.

Kekhawatiran Berlebihan

Rencana kebijakan pengendalian pembatasan BBM menuai beragam kontroversi. Seperti diduga sebelumnya, banyak pihak beramai-ramai menolak rencana kebijakan pemerintah itu. Beragam alasan pun dikemukakan. Diantara yang muncul ke publik adalah kekhawatiran terhadap kegagalan mekanisme kontrol kebijakan yang tepat sasaran. Pembatasan dianggap berpotensi memicu kekecewaan sosial jika pembagian kuota BBM bersubsidi tidak dilakukan secara adil di berbagai wilayah dan SPBU. Ditakutkan kebijakan tersebut disalahgunakan sehingga tidak tepat sasaran dan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok.

Hemat penulis, alasan teknis semacam ini mestinya dikesampingkan terlebih dahulu sebelum kebijakan tersebut benar-benar terealisir. Pemerintah tentu mempunyai standard operating system yang ketat dan baku dalam hal ini. Sebab salah satu asumsi dasar yang melatari kebijakan pembatasan justeru agar BBM bersubsidi tepat sasaran.

Ihwalnya, BBM bersubsidi dimaksudkan untuk masyarakat menengah kebawah dan kendaraan umum. Namun praktik lapangan selama ini disalahgunakan sehingga banyak masyarakat yang tidak berhak mendapat subsidi, ikut pula menikmati. Karena itu strategi pengawasan dan kontrol BBM bersubsidi tepat sasaran berupa mekanisme pengendalian dan pembatasan BBM diharapkan menjadi terapi penyeimbang bagi tingginya harga minyak dunia. Sederhananya, pemerintah mendorong masyarakat untuk bersikap efisien dan berhebat di tengah krisis minyak. Kekhawatiran kenaikan harga kebutuhan pokok akan terhindari selama rencana kebijakan itu direalisasi secara disiplin, teratur, proporsional dan professional.

Penilaian miring dan prejudice atas rencana kebijakan pembatasan subsidi hanya akan menghambat proses realisasi kebijakan pemerintah ditengah fluktuasi harga minyak dunia yang sangat mengkhawatirkan. Mengingat permasalahan minyak dan energi begitu rumit dan berkorelasi langsung dengan beragam domain kehidupan, pemerintah musti optimis, percaya diri, cekatan dan terus mengkaji problematika ini demi kemaslahatan bersama.

Kita berharap pemerintah dan masyarakat realistis menghadapi masalah ini, dimana hanya tersedia dua opsi: pembatasan konsumsi ataukah pengurangan subsidi (penaikan harga). Ditengah situasi minyak dunia yang sangat mengkhawatirkan ini, pemerintah tidak boleh ragu mengambil keputusan, meski dinilai tidak populis. Asal didasarkan pada pertimbangan kepentingan nasional jangka menengah dan panjang, pemerintah musti jalan terus, rakyat pun akan mengerti. Sebab kebijakan pembatasan BBM sejatinya tidak akan berhasil jika tidak mendapatkan dukungan, peran aktif dan kesadaran masyarakat. Semoga!

Jakarta, 14 april 2011

Saat pikiran tak mampu berpikir jernih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar