Kamis, 30 Juni 2011

DARAH, NASI DAN KURSI*

Hermawan Sulistyo penulis buku ini, mengawali dengan jitu ketika melihat konflik selalu menjadi bagian dari politik Indonesia. Politik pada dasarnya adalah perang dalam hal ini politik tidak berbeda dari bola-sepak (football/soccer). Perang dalam bola-sepak menjadi kebudayaan ketika disana diberikan rules and regulations; ethics and etiquette.

Begitu juga pemilihan umum yang menjadi kelanjutan dari politik yaitu perang : perang Troya di Yunani, Bharata Yuda di India, dan Jawa. Perang tersebut merupakan perang perebutan kekuasaan seperti dibilang buku ini. Dalam masa modern kita mengenal adagium “from bullet to ballot”, dari pelor ke kotak suara. Penyelesaian politik palestina, penyelesaiaan perang di Afganistan atau perang di teluk balkan berakhir dengan kotak suara.

Namun demikian, hampir di semua kamar-kamar politik istilah perang sudah tidak terdengar lagi kecuali dalam pemilihan umum yang merupakan satu-satunya tempat di mana istilah perang masih di simpan. sebagaimana digambarkan penulis kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pasca orde baru umumnya lebih bersifat politis berbalik dengan kerusuhan masa pemerintahan soeharto sebab utama kerusuhan adalah ekonomi dengan faktor-faktor politik yang menyusul.

Kerusuhan pada masa pemerintahan B.J. Habibie terlihat faktor politik lebih berperan sebagai penyebab timbulnya kerusuhan, disusul faktor ekonomi. Pemulihan ekonomi pada masa itu belum berlangsung sepenuhnya, para pelaku politik memanipulasi dimensi ekonomi ini menjadi bersifat politis. Bagi penulis buku setidaknya ada tiga situasi yang ikut meningkatkan berbagai ketegangan yang berakhir dengan kerusuhan pada masa B.J. Habibie antara lain: pertama, kondisi negara yang lemah membuat semakin lemahnya kontrol atas pers dan media massa, khusunya TV. Pada awal pemerintahan B.J. Habibie tercatat hanya ada sekitar 400 SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) yang sudah dikeluarkan Departemen Penerangan. Ketika Habibie turun dari panggung kekuasaan pada akhir tahun 1999, angka itu telah melebihi 1.700 buah SIUPP. Keadaan tersebut semakin membuat masyarakat berani berbicara dan bertindak lepas dari kendali kekuasaan. Kedua, liberalisasi politik yaitu kebijakan pembentukan partai-partai politik baru. Liberalisasi ini berkaitan dengan perubahan lima UU bidang politik yang berlaku sejak tahun 1995 dan ditetapkannya penyelenggaraan pemilu yang dipercepat atau dikenal sebagai “pemilu sela” pada 7 juni 1999. Ketiga, krisis ekonomi yang semakin memburuk tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Krisis ekonomi telah mendorong krisis kepercayaan akibatnya tidak mungkin lagi dilakukan pemilahan antara faktor-faktor ekonomi dari faktor politik. keduanya telah menjadi dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.

Kerusuhan pada Masa pemerintahan Gus Dur. Setelah Gus Dur terpilih melalui persidangan SU-MPR 1999 tekanan politik dari massa bawah PDI-P semakin meningkat dan disusul dari masa Golkar yang kecewa atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden RI oleh MPR. Kerusuhan selain di jakarta juga terjadi di beberapa kota setidaknya ada tiga kota besar pecah kerusuhan berskala menengah dan besar. Ketiga kota tersebut adalah Solo, Denpasar dan Ujungpandang yang kini berubah menjadi Makassar.

Kerusuhan Pasca pemerintahan Gus Dur. Krisis Indonesia adalah krisis multidimensi. Penyelesaiaan krisis ekonomi tidak mungkin dilakukan dan memberi hasil, jika tidak ada penyelesaian politik. Penyelesaain politik telah dilakukan melalui suksesi kepimimpinan nasional dari tangan B.J. Habibie ke Gus Dur. Tetapi kestabilan politik belum berjalan lancar mengingat pergantian rejim belum berjalan secara keseluruhan. Terpilihnya duet kepemimpinan Gus Dur-Megawati hanya mampu menggeser sebagian kekuasaan dari gurita kekuasaan orde baru. Sehingga terjadi perebutan panjang perebutan kekuasaan politik hingga berujung dekrit pelengseran Gus Dur.

Demokrasi dan konflik terlihat sangat erat dalam sejarah Indonesia. Demokrasi modern politik sudah diberikan rules, regulations, ethics dan etiquette untuk membuat perang menjadi politik. Perang menjadi politik tidak hanya terjadi dalam susksesi pemilihan presiden. Hermawan Sulistyo selaku penulis mampu memotret lanskap konflik dalam pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal). Reformasi politik menghasilkan berbagai perubahan struktural pada tingkat nasional maupun lokal. Salah satu proses politik yang terpenting adalah perubahan rekrutmen politik yaitu pemilihan langsung presiden dan wakiil presiden, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Fenomena politik baru ini mengandung potensi konflik yang besar.

Penulis buku memotret masa dimana potensi konflik itu muncul pada masa menjelang atau pra, semasa dan pasca pilkadal. Periode waktu yang pertama (pra) merentang mulai dari rekruitmen bakal calon (balon) hingga penetapan calon. Rentang waktu kedua (semasa) mulai dari kampanye hingga pemungutan suara. Rentang waktu ketiga (pasca) mulai dari penghitungan suara hingga pelantikan kepala daerah terpilih langsung (kadal).

Konflik Pra-Pilkadal pada tahap ini potensi konflik muncul dari adanya tokoh-tokoh independen yang tidak berpatai. Peraturan dan ketentuan perundang-undangan menafikan keberadaan calon independen, sementara satu sisi adanya pendukung yang menghendaki majunya calon independen. Padatahap ini terjadi konflik manifes terkait dengan keputusan Majelis Konstitusi yang mengubah ketentuan UU No. 32/2004 dimana hanya memungkinkan balon maju sebagai calon melalui partai politik dengan syarat penguasaan minimal 15 persen kursi di DPRD. Peraturan tersebut dirubah dengan munculnya PP No. 6/2005. parpol-parpol gurem yang bahkan tidak meraih satu kursi pun masih dimungkinkan mengajukan calon. Pasal 36 dan 37 PP tersebut memungkinkan aliansi parpol gurem mengajukan calon jika total perolehan suara (bukan kursi) mencapai minimal 15% dari total suara di daerah pilkadal. Perubahan ketentuan tersebut telah menimbulkan konflik di beberapa daerah, seperti di banyuwangi. Proses koalisi strategis parpol peraih kursi dan parpol gurem menumbuhkan dinamika politik dan menaikkan suhu politik setempat.

Selain konflik manifes pada tahap ini juga terjadi konflik friksi yang muncul dari kontestasi antara UU pemilu yang melarang anggota TNI dan Polri ikut dalam pemilu dengan PP (peraturan pemerintah) yang memperbolehkan calon TNI dan Polri dalam dinas aktif untuk ikut dalam pilkadal. Potensi konflik pada tahap pra-pilkadal juga muncul karena disebabkan oleh kedekatan jarak psikologis antara sang balon (bakal calon) dengan pendukung mereka. Karena jika calon mereka kalah secara emosional mereka pasti terganggu. Pada tahap pra-pilkadal, potensi ini mudah pecah menjadi konflik terbuka sebab kekuatan masing-masing calon belum terukur.

Potensi konflik kedua yang dipotret penulis dengan jitu yaitu konflik semasa pilkadal. Bagian yang tak terpisahkan dari hari-H pilkadal yaitu saat pencoblosan kertas suara adalah kampanye. PP No. 6/2004 hanya memberikan waktu 2 minggu untuk kampanye calon yang maju. Jika cukup banyak pasangan calon yang maju berkompetisi maka jadwal waktu mungkin tidak mencukupi maka dimungkinkan adanya kampanye secara bersamaan dengan calon yang lainnya. Hal ini akan membawa potensi ketegangan politik semakin meningkat.

Secara umum potensi konflik pada masa kampanye meliputi isu-isu subtansi (tema dan topik) kampanye serta teknis. Potensi konflik subtasnsi akan muncul dengan cara kampanye hitam (black campaign) yaitu menyerang keburukan dan kelemahan kompetitor, terutama menyangkut pribadi. Adapun isu teknis menyangkut pembagian ruang dan waktu kampanye secara adil. Semakin banyak pasangan calon yang bertanding semakinn besar fragmentasi politik dan semakin besar pula potensi konfliknya. Sumber konflik lainnya pada tahap ini adalah isu tentang money politics . politik uang hampir sulit dipisahkan dari sejarah politik Indonesia. Banyak para calon yang bagi-bagi uang meski sulit untuk dibuktikan mereka melakukan pelanggaran tersebut. Wilayah abu-abu iniseringkali menimbulkan kecurigaan, tuduhan dan sikap tidak menerima dari yang dituduh melakukan politik uang hingga ketingkat konflik terbuka.

Hari-H pencoblosan juga memicu potensi konflik mesti tidak setegang sebelum dan sesudah pemungutan suara. Konflik yang muncul pada hari-H umumnya terkait dengan tidak terdaftarnya seseorang dalam TPS, adanya suara lebih dari satu.

Namun demikian, penulis buku menganggap potensi konflik dalam seluruh proses pilkadal dan terutama pada tahap kampanye serta hari-H pemungutan suara adalah “politik identitas”. Kelompok massa, terutama parpol umumnya memiliki dan menggunakan simbol-simbol identitas kelompok yang tampak “keras”. Dengan simbol-simbol tersebut, identitas kelompok bukan hanya ditegaskan secara terbuka tetapi juga membangun peralihan identitas dari “kita” menjadi “kami”. Lebih dari itu penulis buku menganggap konflik tidak hanya pada ruang politik identitas tetapi juga menyangkut identitas budaya bahkan keyakinan dengan menggunakan simbol-simbol agama termasuk madzhab, sekte dan aliran-aliran yang terdapat dalam satu agama.

Potensi konflik yang ketiga yang dipotret penulis buku dengan jitu adalah konflik pasca pilkadal. Pada tahap ini ada dua kecenderungan yang memicu konflik pasca pilkadal yaitu: pertama, sulit terjadi fraud atau kecurangan.sebab setiap pihak akan saling mengawasi pihak lain secara ketat. Pada tahap ini sudah tidak mungkin mendorong perolehan suara diri sendiri sehingga kecenderungan yang ada adalah mencari-cari kelemahan lawan berupa kecurangan lawan. Kedua, mungkin terjadi fraud , pada tahap ini fraud dimungkinkan dari peluang total penjumlahan suara oleh oknum petugas yang berkepentingan untuk memihak salah satu pasangan kandidat. Motif pemihakan tersebut bisa keyakinan, pilihan atau uang (money politics).

Bagi penulis potensi konflik tersebut yang terjadi pada masa pilkadal berlangsung secara linear artinya rangkaian peristiwa ke depan dapat diprediksikan sesuai dengan logika sebab-akibat atau prakiraan situasi yang memunculkan peristiwa tertentu. Penulis juga mengingat sesungguhnya pencegahan konflik tidak boleh dimaknakan sebagai mengandung ancaman atau represif. Mencegah harus diartikan mengelola bukan menghilaukan konflik. konflik bisa menjadi berkah karena ia merupakan dinamika kehidupan politik.

Oleh karena itu, demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konflik. Karena demokrasi tidak lain adalah memanfaatkan “social bargaining position” untuk memperoleh “consensus” dengan memproduktifkan “conflict”. Ketika kita memproduktifkan konflik kita berada pada bidang paradoks demokrasi itu sendiri. Tidak ada demokrasi tanpa konflik, demokrasi justru sengaja menghidupkan konflik produktif demi kepentingan bersama. Checks and balances dalam demokrasi tidak lain dari sutu metoda demokrasi untuk menghidupkan konflik produktif demi kepentingan bersama.

Karena itu, “Darah, Nasi dan Kursi” buku yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo ini menjadi bukti bagaimana paradoks politik modern tidak bisa melepaskan nafsu politik dengan tetap membawa bersamanya secara tidak sadar atau Freudian sub-consciousness- untuk menjadikan darah sebagai alat merebut kursi, dan kursi untuk nasi sebagaimana tertulis dalam judul buku “darah, nasi, dan kursi”.

Resensi dari buku Darah, Nasi dan Kursi karya Hermawan Sulistyo