Kamis, 30 Juni 2011

DARAH, NASI DAN KURSI*

Hermawan Sulistyo penulis buku ini, mengawali dengan jitu ketika melihat konflik selalu menjadi bagian dari politik Indonesia. Politik pada dasarnya adalah perang dalam hal ini politik tidak berbeda dari bola-sepak (football/soccer). Perang dalam bola-sepak menjadi kebudayaan ketika disana diberikan rules and regulations; ethics and etiquette.

Begitu juga pemilihan umum yang menjadi kelanjutan dari politik yaitu perang : perang Troya di Yunani, Bharata Yuda di India, dan Jawa. Perang tersebut merupakan perang perebutan kekuasaan seperti dibilang buku ini. Dalam masa modern kita mengenal adagium “from bullet to ballot”, dari pelor ke kotak suara. Penyelesaian politik palestina, penyelesaiaan perang di Afganistan atau perang di teluk balkan berakhir dengan kotak suara.

Namun demikian, hampir di semua kamar-kamar politik istilah perang sudah tidak terdengar lagi kecuali dalam pemilihan umum yang merupakan satu-satunya tempat di mana istilah perang masih di simpan. sebagaimana digambarkan penulis kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pasca orde baru umumnya lebih bersifat politis berbalik dengan kerusuhan masa pemerintahan soeharto sebab utama kerusuhan adalah ekonomi dengan faktor-faktor politik yang menyusul.

Kerusuhan pada masa pemerintahan B.J. Habibie terlihat faktor politik lebih berperan sebagai penyebab timbulnya kerusuhan, disusul faktor ekonomi. Pemulihan ekonomi pada masa itu belum berlangsung sepenuhnya, para pelaku politik memanipulasi dimensi ekonomi ini menjadi bersifat politis. Bagi penulis buku setidaknya ada tiga situasi yang ikut meningkatkan berbagai ketegangan yang berakhir dengan kerusuhan pada masa B.J. Habibie antara lain: pertama, kondisi negara yang lemah membuat semakin lemahnya kontrol atas pers dan media massa, khusunya TV. Pada awal pemerintahan B.J. Habibie tercatat hanya ada sekitar 400 SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) yang sudah dikeluarkan Departemen Penerangan. Ketika Habibie turun dari panggung kekuasaan pada akhir tahun 1999, angka itu telah melebihi 1.700 buah SIUPP. Keadaan tersebut semakin membuat masyarakat berani berbicara dan bertindak lepas dari kendali kekuasaan. Kedua, liberalisasi politik yaitu kebijakan pembentukan partai-partai politik baru. Liberalisasi ini berkaitan dengan perubahan lima UU bidang politik yang berlaku sejak tahun 1995 dan ditetapkannya penyelenggaraan pemilu yang dipercepat atau dikenal sebagai “pemilu sela” pada 7 juni 1999. Ketiga, krisis ekonomi yang semakin memburuk tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Krisis ekonomi telah mendorong krisis kepercayaan akibatnya tidak mungkin lagi dilakukan pemilahan antara faktor-faktor ekonomi dari faktor politik. keduanya telah menjadi dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.

Kerusuhan pada Masa pemerintahan Gus Dur. Setelah Gus Dur terpilih melalui persidangan SU-MPR 1999 tekanan politik dari massa bawah PDI-P semakin meningkat dan disusul dari masa Golkar yang kecewa atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden RI oleh MPR. Kerusuhan selain di jakarta juga terjadi di beberapa kota setidaknya ada tiga kota besar pecah kerusuhan berskala menengah dan besar. Ketiga kota tersebut adalah Solo, Denpasar dan Ujungpandang yang kini berubah menjadi Makassar.

Kerusuhan Pasca pemerintahan Gus Dur. Krisis Indonesia adalah krisis multidimensi. Penyelesaiaan krisis ekonomi tidak mungkin dilakukan dan memberi hasil, jika tidak ada penyelesaian politik. Penyelesaain politik telah dilakukan melalui suksesi kepimimpinan nasional dari tangan B.J. Habibie ke Gus Dur. Tetapi kestabilan politik belum berjalan lancar mengingat pergantian rejim belum berjalan secara keseluruhan. Terpilihnya duet kepemimpinan Gus Dur-Megawati hanya mampu menggeser sebagian kekuasaan dari gurita kekuasaan orde baru. Sehingga terjadi perebutan panjang perebutan kekuasaan politik hingga berujung dekrit pelengseran Gus Dur.

Demokrasi dan konflik terlihat sangat erat dalam sejarah Indonesia. Demokrasi modern politik sudah diberikan rules, regulations, ethics dan etiquette untuk membuat perang menjadi politik. Perang menjadi politik tidak hanya terjadi dalam susksesi pemilihan presiden. Hermawan Sulistyo selaku penulis mampu memotret lanskap konflik dalam pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal). Reformasi politik menghasilkan berbagai perubahan struktural pada tingkat nasional maupun lokal. Salah satu proses politik yang terpenting adalah perubahan rekrutmen politik yaitu pemilihan langsung presiden dan wakiil presiden, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Fenomena politik baru ini mengandung potensi konflik yang besar.

Penulis buku memotret masa dimana potensi konflik itu muncul pada masa menjelang atau pra, semasa dan pasca pilkadal. Periode waktu yang pertama (pra) merentang mulai dari rekruitmen bakal calon (balon) hingga penetapan calon. Rentang waktu kedua (semasa) mulai dari kampanye hingga pemungutan suara. Rentang waktu ketiga (pasca) mulai dari penghitungan suara hingga pelantikan kepala daerah terpilih langsung (kadal).

Konflik Pra-Pilkadal pada tahap ini potensi konflik muncul dari adanya tokoh-tokoh independen yang tidak berpatai. Peraturan dan ketentuan perundang-undangan menafikan keberadaan calon independen, sementara satu sisi adanya pendukung yang menghendaki majunya calon independen. Padatahap ini terjadi konflik manifes terkait dengan keputusan Majelis Konstitusi yang mengubah ketentuan UU No. 32/2004 dimana hanya memungkinkan balon maju sebagai calon melalui partai politik dengan syarat penguasaan minimal 15 persen kursi di DPRD. Peraturan tersebut dirubah dengan munculnya PP No. 6/2005. parpol-parpol gurem yang bahkan tidak meraih satu kursi pun masih dimungkinkan mengajukan calon. Pasal 36 dan 37 PP tersebut memungkinkan aliansi parpol gurem mengajukan calon jika total perolehan suara (bukan kursi) mencapai minimal 15% dari total suara di daerah pilkadal. Perubahan ketentuan tersebut telah menimbulkan konflik di beberapa daerah, seperti di banyuwangi. Proses koalisi strategis parpol peraih kursi dan parpol gurem menumbuhkan dinamika politik dan menaikkan suhu politik setempat.

Selain konflik manifes pada tahap ini juga terjadi konflik friksi yang muncul dari kontestasi antara UU pemilu yang melarang anggota TNI dan Polri ikut dalam pemilu dengan PP (peraturan pemerintah) yang memperbolehkan calon TNI dan Polri dalam dinas aktif untuk ikut dalam pilkadal. Potensi konflik pada tahap pra-pilkadal juga muncul karena disebabkan oleh kedekatan jarak psikologis antara sang balon (bakal calon) dengan pendukung mereka. Karena jika calon mereka kalah secara emosional mereka pasti terganggu. Pada tahap pra-pilkadal, potensi ini mudah pecah menjadi konflik terbuka sebab kekuatan masing-masing calon belum terukur.

Potensi konflik kedua yang dipotret penulis dengan jitu yaitu konflik semasa pilkadal. Bagian yang tak terpisahkan dari hari-H pilkadal yaitu saat pencoblosan kertas suara adalah kampanye. PP No. 6/2004 hanya memberikan waktu 2 minggu untuk kampanye calon yang maju. Jika cukup banyak pasangan calon yang maju berkompetisi maka jadwal waktu mungkin tidak mencukupi maka dimungkinkan adanya kampanye secara bersamaan dengan calon yang lainnya. Hal ini akan membawa potensi ketegangan politik semakin meningkat.

Secara umum potensi konflik pada masa kampanye meliputi isu-isu subtansi (tema dan topik) kampanye serta teknis. Potensi konflik subtasnsi akan muncul dengan cara kampanye hitam (black campaign) yaitu menyerang keburukan dan kelemahan kompetitor, terutama menyangkut pribadi. Adapun isu teknis menyangkut pembagian ruang dan waktu kampanye secara adil. Semakin banyak pasangan calon yang bertanding semakinn besar fragmentasi politik dan semakin besar pula potensi konfliknya. Sumber konflik lainnya pada tahap ini adalah isu tentang money politics . politik uang hampir sulit dipisahkan dari sejarah politik Indonesia. Banyak para calon yang bagi-bagi uang meski sulit untuk dibuktikan mereka melakukan pelanggaran tersebut. Wilayah abu-abu iniseringkali menimbulkan kecurigaan, tuduhan dan sikap tidak menerima dari yang dituduh melakukan politik uang hingga ketingkat konflik terbuka.

Hari-H pencoblosan juga memicu potensi konflik mesti tidak setegang sebelum dan sesudah pemungutan suara. Konflik yang muncul pada hari-H umumnya terkait dengan tidak terdaftarnya seseorang dalam TPS, adanya suara lebih dari satu.

Namun demikian, penulis buku menganggap potensi konflik dalam seluruh proses pilkadal dan terutama pada tahap kampanye serta hari-H pemungutan suara adalah “politik identitas”. Kelompok massa, terutama parpol umumnya memiliki dan menggunakan simbol-simbol identitas kelompok yang tampak “keras”. Dengan simbol-simbol tersebut, identitas kelompok bukan hanya ditegaskan secara terbuka tetapi juga membangun peralihan identitas dari “kita” menjadi “kami”. Lebih dari itu penulis buku menganggap konflik tidak hanya pada ruang politik identitas tetapi juga menyangkut identitas budaya bahkan keyakinan dengan menggunakan simbol-simbol agama termasuk madzhab, sekte dan aliran-aliran yang terdapat dalam satu agama.

Potensi konflik yang ketiga yang dipotret penulis buku dengan jitu adalah konflik pasca pilkadal. Pada tahap ini ada dua kecenderungan yang memicu konflik pasca pilkadal yaitu: pertama, sulit terjadi fraud atau kecurangan.sebab setiap pihak akan saling mengawasi pihak lain secara ketat. Pada tahap ini sudah tidak mungkin mendorong perolehan suara diri sendiri sehingga kecenderungan yang ada adalah mencari-cari kelemahan lawan berupa kecurangan lawan. Kedua, mungkin terjadi fraud , pada tahap ini fraud dimungkinkan dari peluang total penjumlahan suara oleh oknum petugas yang berkepentingan untuk memihak salah satu pasangan kandidat. Motif pemihakan tersebut bisa keyakinan, pilihan atau uang (money politics).

Bagi penulis potensi konflik tersebut yang terjadi pada masa pilkadal berlangsung secara linear artinya rangkaian peristiwa ke depan dapat diprediksikan sesuai dengan logika sebab-akibat atau prakiraan situasi yang memunculkan peristiwa tertentu. Penulis juga mengingat sesungguhnya pencegahan konflik tidak boleh dimaknakan sebagai mengandung ancaman atau represif. Mencegah harus diartikan mengelola bukan menghilaukan konflik. konflik bisa menjadi berkah karena ia merupakan dinamika kehidupan politik.

Oleh karena itu, demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konflik. Karena demokrasi tidak lain adalah memanfaatkan “social bargaining position” untuk memperoleh “consensus” dengan memproduktifkan “conflict”. Ketika kita memproduktifkan konflik kita berada pada bidang paradoks demokrasi itu sendiri. Tidak ada demokrasi tanpa konflik, demokrasi justru sengaja menghidupkan konflik produktif demi kepentingan bersama. Checks and balances dalam demokrasi tidak lain dari sutu metoda demokrasi untuk menghidupkan konflik produktif demi kepentingan bersama.

Karena itu, “Darah, Nasi dan Kursi” buku yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo ini menjadi bukti bagaimana paradoks politik modern tidak bisa melepaskan nafsu politik dengan tetap membawa bersamanya secara tidak sadar atau Freudian sub-consciousness- untuk menjadikan darah sebagai alat merebut kursi, dan kursi untuk nasi sebagaimana tertulis dalam judul buku “darah, nasi, dan kursi”.

Resensi dari buku Darah, Nasi dan Kursi karya Hermawan Sulistyo


Minggu, 15 Mei 2011

Rasionalitas Pembatasan BBM

‘Dilematis’ menjadi kata yang tepat merepresentasi sikap pemerintah terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Bagi setiap rezim pemerintah pasca reformasi, penyikapan BBM kerap mengundang reaksi tidak simpatik.

Di satu sisi, pilihan pengurangan subsidi (penaikan harga) berkonsekwensi pada naiknya basic needed cost. Di sisi lain, beban APBN terhadap subsidi BBM akan kian berat jika tidak dilakukan pengurangan subsidi seiring naiknya harga minyak dunia. Sayangnya, posisi dilematis pemerintah ini minus pemahaman publik, bahkan kerap diolah menjadi bola liar jualan politik pihak-pihak tertentu.

Kini masalah kembali hadir dan pemerintah dipaksa menghadapi dilema baru. Laju kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional hingga April 2011 telah melambung tinggi mencapai kisaran US$120 per barel. Selain diakibatkan oleh kulminasi konfliktual kawasan Timur Tengah dari Tunisia, Mesir hingga Libya, kenaikan harga binyak juga dipantik oleh ketidakstabilan perubahan iklim (climate change) di Eropa – Amerika, berkurangnya produksi minyak negara-negara OPEC, dan pengaruh inflasi dolar AS.

Kondisi itu jelas tidak menguntungkan bagi Indonesia, sebagai pengekspor sekaligus pengimpor minyak. Utamanya dampak pada peningkatan beban neraca impor kebutuhan BBM. Artinya, naiknya harga minyak di pasar internasional yang melebihi ambang batas subsidi akan meningkatkan beban APBN ditengah keterbatasan anggaran negara.

Political Will

Betapa dilema diatas kerap menjadi motif utama mengapa kebiajakan terhadap BBM terkesan sangat hati-hati. Satu sisi pemerintah tidak ingin membebani masyarakat dengan kenaikan harga, namun pada saat bersamaan anggaran APBN atas subsidi BBM telah ditetapkan sedemikian rupa agar tidak melebihi kuota. Itulah yang melatari ketertundaan rencana kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Rupanya pemerintah ingin lebih mematangkan rencana tersebut agar tidak memberatkan dua domain: anggaran negara dan kebutuhan pokok rakyat.

Sebelumnya, penyiasatan demi penyiasatan dilakukan agar dilema BBM tak lagi membebani rakyat. Salah satu kebijakan yang patut diapresiasi positif adalah keberhasilan pemerintah menggiring masyarakat mengonversi minyak tanah ke gas. Ini adalah strategi penghematan BBM dan penekanan subsidi yang dinilai excellent, meski membutuhkan pembenahan pelayanan di berbagai lini.

Terakhir, untuk menghindari efek domino kenaikan harga bahan pokok, skema kebijakan pemerintah sengaja menghindari penaikan harga, dan lebih memilih pengendalian konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat melalui strategi pemberian kuota (penjatahan). Kebijakan penjatahan BBM bersubsidi dimaksudkan untuk mengontrol volume pengeluaran diatas kuota 38,5 juta kiloliter, sebagaimana amanat UU APBN 2011. Rencana pembatasan itu musti dibaca sebagai political will pemerintah dalam mengendalikan pemakaian BBM bersubsidi.

Pemerintah musti berani mengambil langkah tegas dan hati-hati ditengah konstalasi rumit fluktuasi minyak dunia saat ini. Kebijakan apapun mempunyai implikasi dan konsekwensi. Sebab jika penggunaan BBM bersubsidi tidak dibatasi, maka beban subsidi dalam APBN kian membengkak.

Sebaliknya, penaikan harga (pengurangan subsidi) sepertinya dihindari pemerintah mengingat efek psikologis dan ekonomis yang akan ditanggung rakyat. Terlebih, hal itu hanya akan menimbulkan reaksi kelompok anti pemerintah yang akan memanfaatkanya untuk mengambil simpati rakyat meskipun dilakukan dengan cara ‘memancing di air keruh’. Disamping itu terdapat potensi penyelundupan BBM ke luar negeri akibat disparitas harga dalam negeri yang lebih rendah dibanding pasaran internasional.

Kekhawatiran Berlebihan

Rencana kebijakan pengendalian pembatasan BBM menuai beragam kontroversi. Seperti diduga sebelumnya, banyak pihak beramai-ramai menolak rencana kebijakan pemerintah itu. Beragam alasan pun dikemukakan. Diantara yang muncul ke publik adalah kekhawatiran terhadap kegagalan mekanisme kontrol kebijakan yang tepat sasaran. Pembatasan dianggap berpotensi memicu kekecewaan sosial jika pembagian kuota BBM bersubsidi tidak dilakukan secara adil di berbagai wilayah dan SPBU. Ditakutkan kebijakan tersebut disalahgunakan sehingga tidak tepat sasaran dan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok.

Hemat penulis, alasan teknis semacam ini mestinya dikesampingkan terlebih dahulu sebelum kebijakan tersebut benar-benar terealisir. Pemerintah tentu mempunyai standard operating system yang ketat dan baku dalam hal ini. Sebab salah satu asumsi dasar yang melatari kebijakan pembatasan justeru agar BBM bersubsidi tepat sasaran.

Ihwalnya, BBM bersubsidi dimaksudkan untuk masyarakat menengah kebawah dan kendaraan umum. Namun praktik lapangan selama ini disalahgunakan sehingga banyak masyarakat yang tidak berhak mendapat subsidi, ikut pula menikmati. Karena itu strategi pengawasan dan kontrol BBM bersubsidi tepat sasaran berupa mekanisme pengendalian dan pembatasan BBM diharapkan menjadi terapi penyeimbang bagi tingginya harga minyak dunia. Sederhananya, pemerintah mendorong masyarakat untuk bersikap efisien dan berhebat di tengah krisis minyak. Kekhawatiran kenaikan harga kebutuhan pokok akan terhindari selama rencana kebijakan itu direalisasi secara disiplin, teratur, proporsional dan professional.

Penilaian miring dan prejudice atas rencana kebijakan pembatasan subsidi hanya akan menghambat proses realisasi kebijakan pemerintah ditengah fluktuasi harga minyak dunia yang sangat mengkhawatirkan. Mengingat permasalahan minyak dan energi begitu rumit dan berkorelasi langsung dengan beragam domain kehidupan, pemerintah musti optimis, percaya diri, cekatan dan terus mengkaji problematika ini demi kemaslahatan bersama.

Kita berharap pemerintah dan masyarakat realistis menghadapi masalah ini, dimana hanya tersedia dua opsi: pembatasan konsumsi ataukah pengurangan subsidi (penaikan harga). Ditengah situasi minyak dunia yang sangat mengkhawatirkan ini, pemerintah tidak boleh ragu mengambil keputusan, meski dinilai tidak populis. Asal didasarkan pada pertimbangan kepentingan nasional jangka menengah dan panjang, pemerintah musti jalan terus, rakyat pun akan mengerti. Sebab kebijakan pembatasan BBM sejatinya tidak akan berhasil jika tidak mendapatkan dukungan, peran aktif dan kesadaran masyarakat. Semoga!

Jakarta, 14 april 2011

Saat pikiran tak mampu berpikir jernih

Kamis, 28 April 2011

Resensi buku: Bila Jatuh, Bangunlah...!!!

Buku ini merupakan sebuah pesan motivasi untuk selalu bangkit menuju kesuksesan. Ibarat roda begitulah penulis mengibaratkan kehidupan. Kadang kita berada di atas, kadang di bawah. Penulis ingin mengajak pembaca bagaimana mengubah kegagalan menjadi kesuksesan. Karena banyak orang sukses karena terinspirasi dari kegagalan. Tidak ada seorangpun yang hidup di dunia ini tanpa diwarnai kegagalan.

Buku motivasi ini tidak hanya bermodal retorika kata-kata tetapi penulis memberikan dalil atau kalam ilahiyah dan cerita para Nabi yang mampu bangkit dari kegagalan. sehingga menjadi daya tarik pembaca bahwa Allah SWT sebagai Khaliq atau pencipta selalu mendampingi hambanya selama ia berprasangka baik kepadaNya. Kegagalan akan menjadi sebuah kesuksesan selama manusia meyakini keberadaan Allah SWT karena orang gagal yang cenderung tidak bisa bangkit umumnya dikarenakan mereka melupakan Allah SWT. Bukankah Allah adalah sebaik-baiknya penolong bagi kita? Ketergantungan mereka terhadap makhluk Allah lah yang membuat mereka putus asa. Padahal Allah-lah yang Maha pemberi segala peluang dalam hidup ini.

Sebagai motivator penulis mengajak pembaca agar memanfaatkan sumber kekuatan yang besar yang bisa mengubah kegagalan menjadi kesuksesan yaitu solusi yang bersumber dari motivasi psikologis dan motivasi amaliah dari nilai-nilai ilahiah. Seperti, berani beramal, bersedekah, ketaqwaan. Kedua sumber motivasi ini-lah yang penulis berikan kepada pembaca agar selalu bangkit bila terjatuh.

Isi buku ini terbagi atas lima gerbang. Setiap gerbang memiliki topik dan strategi untuk membangkitkan motivasi. penulis membuka gerbang pertama agar kita menjadi manusia yang produktif. Karena prinsip kekuatan produktif merupakan potensi bawaan yang tertanam dalam diri manusia. Oleh karena itu, produktifitas akan muncul jika manusia memiliki target. Target yang tinggi mempunyai kekuatan istimewa yang akan mampu mengantarkan manusia lebih giat bekerja dan sebaliknya jika target manusia rendah maka stimulus kekuatan yang dihasilkan juga akan rendah. Potensi besar yang ada dalam diri kita tergantung seberapa besar kita memanfaatkannya.

Gerbang kedua bagaimana kita mampu mengatur potensi hingga maksimum. Karena manusia memiliki fitrah untuk selalu berjuang. Kata kunci terpenting dalam hal ini adalah ‘ketidaktahuan’ manusia akan potensi yang dimiliki dia. Sehingga ia tidak bisa menggali potensinya. Yang kedua adalah potensinya tertutup karena ia mempercayai anggapan yang salah yang mengatakan bahwa dia adalah bodoh. Inilah proses bagaimana pembodohan yang bermuara dari isi pikirannya sendiri.

Penulis memberikan lima kata kunci agar kita dapat menggali potensi luar biasa yang ada dalam diri kita antara lain. Pertama, nyawa kesuksesan adalah waktu. Waktu adalah amanah. Dalam Islam, waktu bukanlah uang atau emas. Akan tetapi ia adalah nyawa jika waktu terbuang sia-sia dan hilang maka tidak dapat digantikan, seperti halnya nyawa. Karena itu, manusia yang menyia-nyiakan waktu termasuk manusia yang tidak menghargai hidup dan nyawanya. Kedua, membuka jendela pikiran. Jendela pikiran kita ada pada sekujur tubuh kita. Dengan mengetahui bagaimana cara membuka jendela pikiran kita kita akan lebih mudah mendapatkan inspirasi. Cara untuk membuka jendela pikiran kita aadalah dengan banyak berlatih, berlatih, berlatih dan jangan pernah berlatih serta melakukan perbaikan terus menerus dengan meningkatkan valensi diri. Oleh karena itu, kita agar terus melakukan proses penamaan kedalam pikiran kita. Kualiatas berpikir kita banyak dipengaruhi oleh apa yang kita baca, kita dengar, kita lihat, katakan dan lakukan. Menentukan isi pikiran kita memberikan kontribusi terhadap kualitas berpikir kita. Ketiga, takdir tergantung proposal hidup yang anda buat. Kalau untuk bikin acara yang digelar satu dua hari saja kitah butuh sebuah proposal, mengapa untuk hidup kita tidak membuat proposal? Mengapa kita membiarkan hidup kita mengalir tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa cita-cita?. Karena itu, sudah semestinya manusia hidup mesti menyusun proposal hidup anda secara detail. Insyaallah kehidupan anda di masa yang akan datang akan jauh lebih baik daripada apabila anda tidak menyusunnya. Keempat, fondasi sukses yang tak tergoyahkan. Berpikir; Putuskan dengan tepat apa yang anda inginkan, bertindak; lakukan saja sekarang!, bersikap persisten; terus lakukan hal itu. Kelima, optimalisasi potensi. Sebagaimana diungkap tadi setiap manusia memiliki potensi. potensi tersebut akan membawa kesuksesan seseorang. Jika kita sudah menemukan potensi kita maka tugas kita adalah bagaimana kita mampu mengoptimalkannya sehingga mendatangkan hasil yang maksimal.

Penulis memasuki gerbang ketiga ingin mengajak pembaca untuk bersiap menjadi pengusaha. Penulis ingin meyakinkan pembaca bahwa kita punya potensi yang luar biasa. Karena ia terlahir sangat berbeda dengan makhluk yang lain. Menjadi seorang pengusaha hanyalah bermodal optimis dan berani. Penulis mengajak pembaca untuk menjadi pengusaha dengan mulailah bermimpi, percaya diri, berangkat dari hobi untuk membuka usaha, dan berani mengambil resiko. Memasuki gerbang keempat dan kelima, penulis memberikan motivasi nilai-nilai ilahiah sebagi spirit perjuangan. Memasuki bab ini penulis terkesan seperti ulama yang memberikan siraman rohani bagaimana sikap kita terhadap Allah SWT sebagai pencipta. Kesuksesan kita tergantung kepada prasangka kita kepadaNya. Allah tidaklah membiarkan makhluknya begitu saja ia senantiasa ada bersama kita selama kita meyakininya. Karena itu, banyak amalan-amalan dalam ajaran agama yang sebenarnya menjadikan rekening bagi kita dalam mencapai kesuksesan. Seperti mengajak kita untuk beramal, bertaqwa, bersabar atas musibah yang menimpa. Karena semua itu ada tabungan atau rekening bagi kita jika kita berprasangka baik pada Allah SWT.

Pada akhir buku ini, penulis mengingatkan kita untuk merenungkan “BILA WAKTU TELAH BERAKHIR” sebuah kutipan lagu dari opick menjadi motivasi penutup buku ini. Kita diingatkan bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Dengan mengingatNya semoga kita bisa selalu ingat beramal dan berbuat kebajikan serta berprestasi dan berkarya bagi kebangkitan umat manusia.